Beberapa tahun yang lalu aku masih duduk di kelas 1 SD. Namun kini
aku sudah mulai duduk di bangku kuliah. Di sini aku bertemu orang-orang hebat.
Bahasa mereka juga berat-berat. Bahkan untuk bercanda pun perlu kening kening
berkerut untuk dapat mencerna isinya. Tapi apa bedanya hidup dengan berbagai
bahasa berat dengan hidup yang sekadar ha-ha-hi-hi. Sama saja ko. Waktu aku
masih SD di kampungku banyak pengangguran begitu juga saat ini. Tapi toh mereka
dapat menikmati hidupnya. Seperti Gito misalnya. Dia lebih tua tiga tahun dari
pada aku. Kini ia sudah berkeluarga dan punya anak satu. Kebetulan dia sedang
duduk di warung nenekku sambil minum kopi.
“Eh Gito. Gimana anak istri? Sehat kan?” ucapku sambil menjulurkan tangan
kananku untuk memberi salam.
“Ya…beginilah. Kau sendiri gimana di Jakarta?”
“Hemm. Sama saja ma mas Gito.”
“Ngga usah bohong. Kau kuliah kan?
Ngapain sih kau kuliah? Habis-habisin duit aja.”
“Ya gimana lagi mas. Mau cari kerjaan juga susah. Kebanyakan minta
yang bertitel.”
“Tau ga. Aku tuh pernah dicritain sama mbahku kalau yang nyiptain
lampu itu sekolahnya ga tinggi. Udah gitu dia ngga lulus-lulus. Nah orang yang
sekolahnya tinggi aja bisa nyiptai lampu, emang kau udah nyiptai apa dengan
sekolahmu yang tinggi itu?”
Kucoba mengalihkan pandanganku dari tatapan mas Gito. Aku bingung
campur malu untuk menjawabnya. Aku kuliah tapi aku belum nyiptai karya apapun
yang berguna bagi orang lain dan yang pasti aku masih bergantung pada pemberian
orang lain untuk bayar kebutuhan kuliah dan kebutuhan sehari-hari termasuk buat
ngerokok biar dilihat aku itu seorang pemikir jenius.
“Ko diem aja? Udah sante aja. Ngga Cuma kau aja kok yang seperti
itu. Ayo ngopi dulu biar ngobrolnya nyante.”
Aku hanya tersenyum kecil dan kusruput sedikit kopi panas yang udah
terhidang di depanku.
“Kapan mau kawin? Enak lo kawin itu. Malem ngga kedinginan dan kalau
siang ngga kepanasan. Pokoknya enakan kawin daripada mbujang.”
Mendengar kata-kata Mas Gito tersebut, aku menjadi tersedak dan
kuletakkan kopiku yang masih panas.
“Waduh kalau yang itu ntar-ntar aja mas. Aku belum cukup umur.
Lagian aku masih kuliah, ntar kalau udah siap semuanya.”
“Bilang aja kau ini takut ma perempuan. Sante aja Man. Kalau kau mbujang terus, kau pasti
dianggap ngga berguna. Sebobrok-bobroknya laki-laki, kalau dia bisa buat anak
pasti dia akan dituakan.”
“Ya tapi jaman sekarang kan
perlu banyak biaya buat ngidupin anak. Mulai dari makan, sandang, sekolah,
belum ntar buat jajannya. Jaman sekarang jajannya kan aneh-aneh. Apalagi kalau di kota, jajannya itu lho mas
bisa nglebihi buat naek haji.”
“Ah kau ini bisa saja kalau ngomong. Ya udah maen yuk ke rumah.”
Tanpa pikir panjang, kuikuti langkah mas Gito menuju rumahnya.
Rumahnya terletak di ujung desa. Dindingnya belum di semen dan lantainya masih
beralas tanah. Dari semua keluarga di desa Suaka ini, keluarga mas Gito
termasuk salah satu keluarga miskin. Di depan rumah mereka terlihat istri Mas
Gito dan anaknya yang berumur enam tahun.
“Mbak Janti, anaknya lucu ya. Kelas berapa sekarang?” kataku pada
istri mas Gito yang sedang menggendong anaknya, Buyung.”
“walah Man. Buat makan aja pas-pasan. Ngapain sekolah. Orang yang
sekolah tinggi aja banyak yang nganggur. Kaya kamu, pasti masih minta sama mas
mu kan.”
Jantungku sedikit tersedak. Kata-kata terakhirnya sedikit tidak
mengenakkan, tapi untuk menutupi amarahku sedikit kulemparkan senyum kecil
padanya.
Tidak lama kemudian, mas Gito keluar dari rumahnya. Ia membawa kue
brondong dan teh hangat.
“Nah kau udah lihat kan
enaknya berkeluarga.”
Senyum tipis dan anggukan kepala menjadi senjata utamaku untuk
mengimbangi perkataan Mas Gito dan Mbak Janti.
***
Dua puluh tahun sudah aku merantau di Kalimantan.
Aku pulang ke kampong halamanku untuk menjenguk makam leluhurku. Tanpa disangka
kampungku kini telah berubah. Dulu kampungku asri dengan suasana pertanian,
kini telah menjadi sebuah pemukiman industri yang penuh dengan bangunan pabrik
di setiap sudutnya. Tak ada lagi makam leluhurku dan tak ada lagi senyum
teman-teman yang menyambutku.
Rasa heranku membuahkan pertanyaan besar dalam pikiranku dan
kulontarkan hal tersebut kepada seorang tukang ojek.
“Maaf pak, kenapa desa Suaka sekarang bisa berubah seperti ini?”
Tukang ojek tersebut menjawabku dengan rasa takut, “Ohh iya mas, ini
semua karena ulah Buyung anaknya Gito yang sekarang menjabat jadi wali kota. Semenjak dia menikah
dengan pengusaha dari Belanda dan menjadi wali kota, dia seenaknya merubah desa ini menjadi
seperti ini.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar